TISNA NEWS.COM

Beyond Inspiring News

Pelajaran Berharga The Power Theory & Personal Income Distribution Theory Pengentasan Kemiskinan di Indonesia

Distribution of Personal Income

OPINI PUBLIK


Malik Cahyadin, S.E., M.Si., Ph.D.

Penulis:

Malik Cahyadin, S.E., M.Si., Ph.D.

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNS


Pemerintah Indonesia berupaya menekan tingkat kemiskinan setiap tahun. Salah satu kebijakan pemerintah yang relatif optimis adalah target 0% tingkat kemiskinan ekstrim pada tahun 2024. Sebagai upaya memberikan beberapa masukan kepada pemerintah dalam rangka memangkas tingkat kemiskinan di Indonesia, maka tulisan ini akan memberikan gambaran dan strategi pengentasan kemiskinan berdasarkan dua teori dasar, yaitu: the power theory dan the personal income distribution theory. Kedua teori dasar ini dapat menjadi rujukan dalam proses kebijakan publik pengentasan kemiskinan di Indonesia.  

Potret Kemiskinan di Indonesia

Kemiskinan merupakan kondisi ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidup minimum atau layak (KHL). Salah satu ukuran tingkat kebutuhan atau pengeluaran minimum masyarakat baik makanan dan non-makanan adalah garis kemiskinan (GK). Publikasi BPS mengungkap bahwa pada Maret 2023 rata-rata rumah tangga miskin mempunyai garis kemiskinan sebesar Rp2.592.657/bulan. Kondisi ini bermakna bahwa setiap daerah di Indonesia mempunyai garis dan tingkat kemiskinan yang berbeda-beda. Penjelasan persentase penduduk miskin menurut provinsi pada tahun 2022(Semester 1-2) – 2023 (Semester 1) telah dijabarkan dalam Tabel 1.

Tingkat kemiskinan di Indonesia pada Semester 1 dan 2 tahun 2022 masing-masing adalah sebesar 9.54% dan 9.57% atau meningkat sebesar 0.03%. Sebaliknya, pada Semester 1 tahun 2023 tingkat kemiskinan menurun menjadi 9.36% atau menurun sebesar 0.18% dibandingkan Semester 1 tahun 2022. Selanjutnya, beberapa provinsi yang mempunyai tingkat kemiskinan relatif tinggi (diatas nasional) adalah Provinsi Aceh, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Papua Barat, dan Papua. Kondisi ini menunjukkan bahwa sebesar 16/34 provinsi (47%) di Indonesia belum mampu menekan (menurunkan) tingkat kemiskinan secara signifikan.

Menariknya, beberapa provinsi yang mampu mencapai tingkat kemiskinan relatif rendah dengan kisaran 4% (dibawah nasional) adalah Kepulauan Bangka Belitung, DKI Jakarta, Bali, dan Kalimantan Selatan. Artinya bahwa hanya sebesar 4/34 provinsi (11,76%) yang mampu menjamin sebagian besar masyarakatnya hidup layak. Dengan demikian, tantangan pemerintah pusat dan daerah untuk memangkas tingkat kemiskinan masih relatif besar dan dalam jangka panjang. Selain itu, potret tingkat kemiskinan ini juga bisa menjadi pelajaran berharga untuk menemukan dan melakukan berbagai terobosan besar pembangunan nasional dan daerah dalam jangka pendek, menengah dan panjang. Secara sederhana, proses pembangunan dan kemajuan negara yang masih menyisakan tingkat kemiskinan relatif tinggi mengindikasikan ketidakadilan distribusi (inklusi) ekonomi dan produktivitas perekonomian yang relatif rendah.           

Tabel 1. Persentase Penduduk Miskin (P0) Menurut Provinsi, 2022-2023

No.Provinsi20222023PerubahanPerbedaan 2023:1
Semester 1Semester 2PerubahanSemester 12022:1 & 2023:1)(Provinsi terhadap Indonesia)
1ACEH14,6414,750,1114,45-0,195,09
2SUMATERA UTARA8,428,33-0,098,15-0,27-1,21
3SUMATERA BARAT5,926,040,125,950,03-3,41
4RIAU6,786,840,066,68-0,10-2,68
5JAMBI7,627,700,087,58-0,04-1,78
6SUMATERA SELATAN11,9011,950,0511,78-0,122,42
7BENGKULU14,6214,34-0,2814,04-0,584,68
8LAMPUNG11,5711,44-0,1311,11-0,461,75
9KEP. BANGKA BELITUNG4,454,610,164,520,07-4,84
10KEP. RIAU6,246,03-0,215,69-0,55-3,67
11DKI JAKARTA4,694,61-0,084,44-0,25-4,92
12JAWA BARAT8,067,98-0,087,62-0,44-1,74
13JAWA TENGAH10,9310,980,0510,77-0,161,41
14DI YOGYAKARTA11,3411,490,1511,04-0,301,68
15JAWA TIMUR10,3810,490,1110,35-0,030,99
16BANTEN6,166,240,086,170,01-3,19
17BALI4,574,53-0,044,25-0,32-5,11
18NUSA TENGGARA BARAT13,6813,820,1413,850,174,49
19NUSA TENGGARA TIMUR20,0520,230,1819,96-0,0910,60
20KALIMANTAN BARAT6,736,810,086,71-0,02-2,65
21KALIMANTAN TENGAH5,285,22-0,065,11-0,17-4,25
22KALIMANTAN SELATAN4,494,610,124,29-0,20-5,07
23KALIMANTAN TIMUR6,316,440,136,11-0,20-3,25
24KALIMANTAN UTARA6,776,860,096,45-0,32-2,91
25SULAWESI UTARA7,287,340,067,380,10-1,98
26SULAWESI TENGAH12,3312,30-0,0312,410,083,05
27SULAWESI SELATAN8,638,660,038,700,07-0,66
28SULAWESI TENGGARA11,1711,270,1011,430,262,07
29GORONTALO15,4215,510,0915,15-0,275,79
30SULAWESI BARAT11,7511,920,1711,49-0,262,13
31MALUKU15,9716,230,2616,420,457,06
32MALUKU UTARA6,236,370,146,460,23-2,90
33PAPUA BARAT21,3321,430,1020,49-0,8411,13
34PAPUA26,5626,800,2426,03-0,5316,67
 INDONESIA9,549,570,039,36-0,180,00

Sumber: BPS (diolah)

Tabel 2 menggambarkan karakteristik rumah tangga miskin di Indonesia pada tahun 2022. Dua isu penting yang dapat menjadi perhatian pemerintah pusat dan daerah. Pertama, tingkat pendidikan kepala rumah tangga miskin sebagian besar maksimal SMP atau hanya maksimal wajib belajar 9 tahun yaitu 79,85% (Semester 1) dan 78,64% (Semester 2) atau menurun sebesar 1,21%. Konskuensinya, mayoritas rumah tingga miskin relatif sulit memperoleh akses pekerjaan yang mampu memenuhi KHL. Kedua, tingkat rumah tangga miskin yang tidak bekerja adalah 11,03% (Semester 1) dan 11,68% (Semester 2). Oleh sebab itu, pemerintah dapat mendorong dan memfasilitasi rumah tangga miskin untuk memenuhi wajib belajar (sekolah) 12 tahun (sampai SMA). Peningkatan jenjang pendidikan ini diharapkan akan berdampak signifikan terhadap kualitas dan akses rumah tangga miskin terhadap peluang pekerjaan yang lebih bagus. Selain itu, pola pikir mereka juga diharapkan semakin berkembang untuk berkontribusi lebih dalam proses pembangunan melalui aktivitas wirausaha. Aktivitas wirausaha tersebut dapat bermula dari usaha skala mikro atau kecil. Selain itu, peningkatan kualitas pendidikan rumah tangga miskin juga bisa menjadi instrumen untuk mendorong usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) Naik Kelas. Oleh sebab itu, pemerintah pusat juga berkewajiban menyediakan pendidikan yang murah (gratis) kepada para rumah tangga miskin. Instrumen lain yang bisa dimanfaatkan untuk memberi ruang pekerjaan kepada rumah tangga menganggur adalah pemanfaatan dana desa untuk pengembangan ekonomi desa.    

Tabel 2. Karakteristik Rumah Tangga Miskin, 2022

No.Karakteristik Rumah TanggaSemester 1 (Maret)Semester 2 (September)Perubahan
1Rata-rata jumlah anggota rumah tangga (orang)4,744,34-0,40
2Persentase kepala rumah tangga wanita10,6613,342,68
3Rata-rata usia kepala rumah tangga (tahun)49,2149,640,43
4Rata-rata lama sekolah kepala rumah tangga (tahun)6,456,630,18
5Tingkat pendidikan kepala rumah tangga (%)
a. Tidak tamat SD25,9824,74-1,24
b. SD37,6937,44-0,25
c. SMP16,1816,460,28
d. SMA17,9518,930,98
e. PT2,202,440,24
6Sumber penghasilan utama rumah tangga (%)
a. Tidak Bekerja11,0311,680,65
b. Pertanian49,8950,480,59
c. Industri16,666,48-10,18
 d. Lainnya22,4231,368,94

Sumber: BPS (diolah)

Selanjutnya, selama periode tahun 2022-2023 tingkat rasio Gini Indonesia berada pada kisaran 0,38. Rasio Gini merupakan indikator tingkat kesenjangan pendapatan relatif antar-masyarakat di suatu wilayah. Rasio gini mempunyai nilai antara 0 (kemerataan pendapatan sempurna) sampai 1 (ketimpangan pendapatan sempurna). Berdasarkan Tabel 3 hanya ada beberapa provinsi yang mempunyai tingkat ketimpangan (ketidakmerataan) pendapatan diatas tingkat nasional, yaitu: Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Gorontalo, dan Papua. Oleh sebab itu, pemerintah daerah dapat memberi ruang yang lebih baik kepada para rumah tangga miskin dalam mengakses pekerjaan dan pendidikan yang lebih tinggi untuk menurunkan tingkat ketimpangan pendapatan.   

Tabel 3. Rasio Gini Menurut Provinsi, 2022-2023

No.Provinsi20222023PerubahanPerbedaan 2023:1
Semester 1Semester 2PerubahanSemester 1(2022:1 & 2023:1)(Provinsi terhadap Indonesia)
1ACEH0,3110,291-0,0200,296-0,015-0,092
2SUMATERA UTARA0,3120,3260,0140,309-0,003-0,079
3SUMATERA BARAT0,3000,292-0,0080,280-0,020-0,108
4RIAU0,3260,323-0,0030,324-0,002-0,064
5JAMBI0,3200,3350,0150,3430,023-0,045
6SUMATERA SELATAN0,3390,330-0,0090,338-0,001-0,050
7BENGKULU0,3150,3150,0000,3330,018-0,055
8LAMPUNG0,3140,313-0,0010,3240,010-0,064
9KEP. BANGKA BELITUNG0,2360,2550,0190,2450,009-0,143
10KEP. RIAU0,3420,325-0,0170,340-0,002-0,048
11DKI JAKARTA0,4230,412-0,0110,4310,0080,043
12JAWA BARAT0,4170,412-0,0050,4250,0080,037
13JAWA TENGAH0,3740,366-0,0080,369-0,005-0,019
14DI YOGYAKARTA0,4390,4590,0200,4490,0100,061
15JAWA TIMUR0,3710,365-0,0060,3870,016-0,001
16BANTEN0,3630,3770,0140,3680,005-0,020
17BALI0,3630,362-0,0010,362-0,001-0,026
18NUSA TENGGARA BARAT0,3730,3740,0010,3750,002-0,013
19NUSA TENGGARA TIMUR0,3340,3400,0060,325-0,009-0,063
20KALIMANTAN BARAT0,3140,311-0,0030,3210,007-0,067
21KALIMANTAN TENGAH0,3190,309-0,0100,317-0,002-0,071
22KALIMANTAN SELATAN0,3170,309-0,0080,313-0,004-0,075
23KALIMANTAN TIMUR0,3270,317-0,0100,322-0,005-0,066
24KALIMANTAN UTARA0,2720,270-0,0020,2770,005-0,111
25SULAWESI UTARA0.3650.359-0.0060.3700.005-0.018
26SULAWESI TENGAH0.3080.305-0.0030.304-0.004-0.084
27SULAWESI SELATAN0.3770.365-0.0120.3770.000-0.011
28SULAWESI TENGGARA0.3870.366-0.0210.371-0.016-0.017
29GORONTALO0.4180.4230.0050.417-0.0010.029
30SULAWESI BARAT0.3620.3710.0090.351-0.011-0.037
31MALUKU0.3010.3060.0050.288-0.013-0.100
32MALUKU UTARA0.2790.3090.0300.3000.021-0.088
33PAPUA BARAT0.3700.3840.0140.3700.000-0.018
34PAPUA0.4060.393-0.0130.386-0.020-0.002
 INDONESIA0.3840.381-0.0030.3880.0040.000

Sumber: BPS (diolah)

The Power Theory dan Kemiskinan

The power theory (Teori Kekuasaan) dikenalkan dan dikembangkan oleh Nicollò Machiavelli (pada awal Abad XVI) dan Thomas Hobbes (pada pertengahan Abad XVII) (Clegg, 1989). Machiavelli menekankan bahwa power (kekuasaan) terkait dengan strategi dan desentralisasi berpikir sedangkan Hobbes memberi perhatian lebih bahwa kekuasaan berorientasi kedaulatan (terkait dengan politik komunitas atau kemasyarakatan). Selanjutnya, Max Weber (1947) mengaitkan kekuasan dengan birokrasi (otoritas dan aturan). Pemikiran awal mereka bertiga tentang kekuasan berkembang dalam diskusi literature oleh para akademisi dan peneliti. Secara sederhana, Teori Kekuasaan menggambarkan strategi dan desentralisasi berfikir tentang kedaulatan politik dan birokrasi dalam suatu komunitas atau masyarakat.

Teori kekuasaan dapat dikaitkan dengan konsep distorsi politik dan sosial sebagai salah satu pondasi teori kemiskinan (Addae-Korankye, 2019). Secara sederhana, distorsi/diskriminasi politik dan sosial sebagai akibat kekuasaan yang dijalankan secara tidak adil dan salah strategi berkonskuensi terhadap pembentukan kemiskinan. Ketidakadilan akses terhadap sumber-sumber aktivitas ekonomi berdampak terhadap kesulitan bagi beberapa kelompok masyarakat untuk mempunyai tingkat kualitas hidup layak yang lebih baik. Oleh sebab itu, para pemegang kekuasaan (eksekutif dan legislatif) berkontribusi signifikan untuk menciptakan atau menghapus distorsi politik dan sosial secara terstruktur. Artinya, mereka mempunyai otoritas untuk menambah atau memangkas tingkat kemiskinan yang terjadi.

Green (2012) mengidentifikasi beberapa pernyataan yang menyebabkan pemegang kuasa (otoritas) dapat membentuk dan meredam pola kemiskinan, yaitu: I have rights, therefore I am; I believe, therefore I am; I read, therefore I am; I surf, therefore I am; We organise, therefore we are; I own, therefore I am; I vote, therefore I am; I steal, therefore I am; and I rule, therefore I am. Oleh sebab itu, para pemegang kekuasaan politik dapat memanfaatkan pernyataan-pernyataan tersebut untuk memangkas tingkat kemiskinan di Indonesia melalui berbagai terobosan ekonomi dan ketenagakerjaan. Misalnya, para pemegang kekuasaan dapat memberi perhatian terhadap pendidikan gratis, pertumbuhan ekonomi yang inklusif-hijau-berkelanjutan, kompetensi kerja, dan dana desa-wirausaha muda yang ditujukan terutama kepada para rumah tangga miskin.

The Personal Income Distribution Theory dan Kemiskinan

The personal income distribution theory dapat mengacu pada dua kutub teori ekonomi utama, yaitu (Knight, 1964): the classical theory of distribution (Lewis) dan the Keynesian theory of income determination and income distribution. Teori Klasik menekankan perbedaan upah tenaga kerja terampil dan tidak terampil sebagai penentu tingkat kemiskinan. Sementara itu, teori Keynesian memberi perhatian terhadap perbedaan pendapatan dan bagian laba usaha antar-sektor industri yang dapat menciptakan kemiskinan.  

Secara runtut, Sandmo (2013) mengidentifikasi beberapa teori distribusi pendapatan sebagai pondasi analisis tingkat dan faktor penentu kemiskinan, yaitu:

  1. The positive theory of income distribution (classical theory) menekankan perbedaan tingkat upah, laba usaha dan biaya sewa.
  2. Marginalist revolution yang mengungkap perilaku maksimisasi dan keseimbangan pasar sebagai pembentuk harga barang-barang konsumsi.
  3. Neoclassical theory (Alfred Marshall and Knut Wicksell) menjabarkan karakteristik pasar tenaga kerja dan penentuan tingkat upah.
  4. Paretian welfare theory menjabarkan perbedaan tingkat utility (nilai guna barang yang dikonsumsi) antar-orang yang menyulitkan untuk menetapkan tingkat optimal redistribusi pendapatan.

Teori-teori distribusi pendapatan diatas dapat menjadi pertimbangan para pengambil kebijakan untuk mendesain proses pemangkasan tingkat kemiskinan menggunakan beberapa faktor seperti penetapan tingkat upah, pengendalian tingkat harga komoditas pokok masyarakat, tingkat pengeluaran (pendapatan) hidup layak, dan tingkat optimal distribusi pendapatan yang adil. Selain itu, pemerintah dapat meningkatkan kualitas sumberdaya manusia rumah tangga miskin dan menjamin bahwa pertumbuhan ekonomi dinikmati oleh semua kalangan masyarakat.

Beberapa Pelajaran Berharga Pengentasan Kemiskinan di Indonesia

  1. Kebijakan dan Kepatuhan Implementasi Program Pendidikan Gratis dan Kewirausahaan

Potret tingkat kemiskinan dan rasio gini di Indonesia pada tahun 2022-2023 memberi sinyal bahwa pemerintah sepatutnya meningkatkan keberpihakan untuk menerapkan kebijakan program pendidikan gratis dan kewirausahaan kepada para penduduk (rumah tangga) miskin. Tingkat pendidikan minimal 9 tahun (SMP) menjadi urgen untuk dicapai dalam beberapa tahun kedepan dalam rangka menjamin kualitas sumberdaya manusia Indonesia lebih produktif dan mengakselerasi pembangunan. Selanjutnya, dalam jangka menengah tingkat pendidikan minimal 12 tahun dan kewirausahaan dapat diterapkan secara bersama-sama dan terintegrasi. Sumberdaya manusia yang terdidik dan terampil merupakan salah satu faktor utama pembentuk output nasional. Faktor lainnya adalah modal (investasi) dan teknologi.

Ketidakmampuan dan ketidakmauan rumah tangga miskin untuk menyelesaikan pendidikan minimal 9 tahun dapat dikaitkan dengan beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut adalah ketidakmampuan rumah tangga memenuhi KHL sehingga anggota rumah tangga akan memilih untuk bekerja, pola pikir bahwa pendidikan tidak menjamin peluang kerja, dan kondisi lingkungan yang tidak mendukung para rumah tangga miskin untuk menyelesaikan pendidikan 9 atau 12 tahun. Faktor-faktor tersebut menjadi tantangan bagi pemerintah untuk menerapkan sekolah gratis dan wajib dilaksanakan oleh semua rumah tangga miskin. Rumah tangga miskin yang memperoleh fasilitas program sekolah gratis tetapi tidak melaksanakan maka pemerintah sepatutnya menerapkan skema sanksi. Skema sanksi tersebut dapat diwujudkan dalam bentuk penghapusan sementara (selama 1 tahun) semua bantuan pemerintah yang diterima oleh para rumah tangga miskin. Sebaliknya, apabila rumah tangga miskin yang telah menerikan program sekolah gratis dapat memanfaatkan dan berprestasi di jenjang sekolah masing-masing maka pemerintah dapat menerapkan skema insentif sekolah gratis ke jenjang yang lebih tinggi dan program pendampingan kewirausahaan. Penerapan program kewirausahaan dapat dilaksanakan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga pendidikan tinggi dan lemabag swadaya masyarakat (LSM).

Secara teknis, pemerintah dapat menerapkan beberapa langkah antara lain:

  1. Menetapkan secara eksplisit dan menerapkan secara konsisten wajib belajar gratis kepada para rumah tangga miskin minimal 9 tahun (SMP). Hasil akhir yang dapat dicapai adalah dalam beberapa tahun ke depan para rumah tangga miskin mempunyai standar kualitas pendidikan dan pola pikir yang relatif lebih baik.
  2. Menerapkan sanksi kepada para rumah tangga miskin yang tidak melaksanakan program belajar gratis minimal 9 tahun dalam bentuk penghapusan sementara (selama 1 tahun) semua program bantuan.
  3. Menerapkan insentif kepada para rumah tangga miskin yang mampu melaksanakan program wajib belajar gratis dalam bentuk beasiswa belajar ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan akses pasar tenaga kerja yang lebih luas baik di pasar domestik dan pasar global.
  4. Menetapkan dan menerapkan program kewirausahaan kepada rumah tangga miskin. Program ini dapat dikelola secara bersama oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, perguruan tinggi dan LSM.
  5. Memaksimalkan dan menjamin keberlanjutan Program Kartu Pra Kerja dan Balai Latihan Kerja yang dikelola oleh pemerintah pusat dan daerah.      
  • Pertumbuhan Ekonomi Inklusif, Hijau dan Berkesinambungan

Pertumbuhan ekonomi yang hanya menargetkan tingkat (persentase) tertentu belum dapat menjawab tantangan untuk menciptakan tingkat kemiskinan rendah dan pemerataan (keadilan) bagi semua masyarakat. Pada saat ini, tantangan terbesar dalam pencapaian target pertumbuhan ekonomi adakah pertumbuhan ekonomi inklusif, hijau dan berkesinambungan. Ketiga terminologi tersebut telah banyak dikaji oleh para ekonomi dan dibahas oleh para pengambil kebijakan. Sayangnya, kebijakan dan praktik ketiga terminology tersebut belum tercapai secara maksimal. Berbagai faktor dapat menjadi kendala ketercapaian ketiga terminologi tersebut antara lain komitmen para pengambil kebijakan dan birokrasi pemerintah yang kurang maksimal, perubahan ekonomi secara struktural yang tidak tercapai secara maksimal, dan budaya (pola pikir) masyarakat dan pelaku usaha yang kadang tidak sinkron dengan kebijakan para pengambil kebijakan.

Selanjutnya, beberapa langkah strategis yang dapat ditempuh oleh para pengambil kebijakan dan masyarakat adalah:

  1. Penetapan tingkat pertumbuhan ekonomi yang memberi ruang partisipasi aktif ekonomi kepada semua kalangan masyarakat baik di Pulau Jawa dan di luar Pulau Jawa secara transparan dan adil. Tingkat pertumbuhan ini merupakan praktik pertumbuhan ekonomi inklusif. Untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi ini maka pemerintah pusat dapat:

a.1 mendorong dan memfasilitasi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di luar Jawa dengan tidak mengorbankan karakteristik budaya lokal dan menggusur kampung adat.

a.2 perusahaan-perusahaan skala besar yang melakukan proses produksi di luar Jawa tidak harus membuka kantor pusat di Jakarta atau Pulau Jawa.

a.3 mendorong dan memfasilitasi aktivitas bandara dan pelabuhan skala besar di luar Jawa untuk berkembang. Secara sederhana, wilayah Indonesia dibagi menjadi tiga maka pusat transportasi laut dan udara dapat dipusatkan di masing-masing wilayah tersebut, tidak hanya berpusat di Jakarta dan Surabaya.

a.4 perputaran uang tidak hanya berpusat di Pulau Jawa. Pemerintah dan Bank Indonesia sepatutnya mendesain kebijakan perputaran uang di Pulau Jawa maksimal 50% sedangkan 50% lainnya didistribusikan ke luar Jawa. Apabila penyebab perputaran uang yang cenderung dominan di Pulau Jawa adalah jumlah penduduk dan kantor-kantor induk perusahaan maka pemerintah dapat mendesain kebijakan transmigrasi dan melarang semua kantor induk perusahaan skala besar berada di Jabodetabek (dengan catatan bahwa aktivitas bisnis atau proses produksi berada di luar Jawa).

b. Pertumbuhan ekonomi dicapai dengan memperhatikan kelestarian lingkungan, mengurangi dampak buruk lingkungan dan berorientasi jangka panjang. Kondisi ini bermakna bahwa pertumbuhan ekonomi menekankan aspek ekonomi hijau dan berkelanjutan. Secara praktis, pemerintah pusat dan daerah dapat:

b.1 menerapkan protokol kualitas dan kesehatan lingkungan terhadap semua aktivitas bisnis. Artinya bahwa penetapan izin standar layak lingkungan terhadap proses bisnis tidak hanya diterbitkan pada saat perusahaan mengajukan ijin pertama kali membuka usaha. Pemberian izin standar layak lingkungan ini sepatutnya dievaluasi secara periodik, misal 3-5 tahun sekali. Dengan proses evaluasi selama 3-5 tahun sekali maka perusahaan tidak terbebani proses evaluasi perizinan layak lingkungan dan risiko dampak lingkungan dapat terkendali.

b.2 pemerintah memberi insentif fiskal dan non-fiskal kepada perusahaan yang menerapkan protokol kualitas dan kesehatan lingkungan secara konsisten. Sebaliknya, pemerintah sepatutnya memberi sanksi fiskal dan non-fiskal kepada perusahaan yang melanggar protokol kualitas dan kesehatan lingkungan. Insentif fiskal dapat diwujudkan dalam bentuk pemotongan tingkat tertentu pajak badan (usaha) sedangkan insentif non-fiskal dapat diwujudkan dalam bentuk fasilitasi perluasan pasar ke pasar global dan kemudahan administrasi bisnis.

b.3 pemerintah dapat mendesain dan menerapkan secara konsisten program one village (region) one product (brand/resource) untuk menopang pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Program ini juga dapat menjadikan suatu desa/daerah mempunyai keunggulan komparatif atau kompetitif baik di pasar domestik dan pasar global.   

  • Program Peningkatan Ketrampilan dan Sertifikasi Kompetensi Kerja

Rumah tangga miskin yang sebagian besar berpendidikan maksimal SMP mempunyai keterbatasan dalam mengakses keterampilan dan sertifikasi kompetensi kerja. Keterampilan dan sertifikasi kompetensi kerja merupakan kebutuhan yang tidak dapat diabaikan ketika pasar tenaga kerja melimpah dari sisi penawaran jumlah calon pekerja dan praktik Industri 4.0. Selain itu, keterampilan dan sertifikasi kerja dapat dimanfaatkan untuk mencapai proses UMKM Naik Kelas. Keberhasilan pencapaian UMKM Naik Kelas berkonskuensi terhadap peningkatan peluang kerja, memangkas tingkat kemiskinan, dan mendorong kapasitas perekonomian lebih besar.

Secara teknis, pemerintah dan para pemangku kepentingan dapat bersinergi dalam proses peningkatan keterampilan dan kompetensi kerja bagi rumah tangga miskin. Bentuk sinergi tersebut dapat diwujudkan kedalam beberapa cara;

  1. Penguatan kelembagaan Balai Latihan Kerja dan Program Kartu Pra Kerja.
  2. Menempatkan sekolah kejuruan dan sekolah vokasi sebagai instrumen utama peningkatan keterampilan dan kompetensi kerja rumah tangga miskin.
  3. Mendorong perguruan tinggi dan LSM untuk berpartisipasi aktif dalam meningkatkan keterampilan dan kompetensi kerja rumah tangga miskin.
  4. Pemerintah pusat dan daerah dapat memberi insentif fiskal kepada perguruan tinggi dan LSM yang berpartisipasi aktif dalam proses peningkatan keterampilan dan kompetensi kerja rumah tangga miskin.
  5. Pemerintah pusat dan daerah dapat menetapkan beberapa rumah tangga miskin yang telah sukses mencapai keterampilan dan kompetensi kerja sebagai duta pengentasan kemiskinan.
  6. Pemerintah pusat dan daerah dapat memfasilitasi para pemuda dari rumah tangga miskin untuk berpartisipasi aktif dan berkarya sesuai kompetensi mereka masing-masing baik di tingkat daerah, nasional dan internasional.   
  • Pemanfaatan Dana Desa untuk Ekonomi Produktif dan Wirausaha Muda Desa

Dana desa merupakan salah satu instrumen fiskal yang secara langsung berinteraksi dengan masyarakat di level bawah. Namun demikian, realisasi dana desa masih berpusat pada kegiatan fisik atau infrastruktur. Hanya sebagian kecil dana desa yang dimanfaatkan untuk mendorong ekonomi produktif desa. Selain itu, belum ada konsentrasi dana desa yang dialokasikan untuk fasilitasi wirausaha muda desa. Hasil akhir yang diharapkan dari alokasi dana desa ini adalah partisipasi aktif para pemuda desa dalam berwirausaha dan pemangkasan tingkat rumah tangga miskin perdesaan.

Selanjutnya, pemerintah pusat dapat mendesain kebijakan dana desa untuk beberapa aktivitas ekonomi produktif dan wirausaha muda melalui beberapa cara:

  1. Pemerintah pusat dan daerah menetapkan program one village one product (brand/resource) dan pemetaan wirausaha muda desa.
  2. Hasil/dokumen pada poin (a) menjadi dasar kebijakan alokasi dana desa untuk ekonomi produktif dan wirausaha muda desa.
  3. Pemerintah pusat dan daerah dapat bersinergi dengan perguruan tinggi dalam proses pendampingan dan pencapaian alokasi dana desa untuk ekonomi produktif dan wirausaha muda desa.

Pemerintah pusat dan daerah dapat memberi insentif fiskal kepada desa yang telah sukses mengalokasikan dana desa untuk ekonomi produktif dan wirausaha muda. Selain itu, desa ini dapat ditetapkan sebagai desa percontohan tingkat provinsi atau nasional.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *